Ekonomi Islam

Sumber : Muhammad Faizal, S.Pd

A.            Definisi Ekonomi Islam

Menurut beberapa ahli ekonomi Islam Kursyid Ahmad bahwa pengertian ekonomi Islam adalah “sebuah usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi, dan tingkah laku manusia secara relasional dalam perspektif Islam”. Sedangkan menurut Muhammad Abdul Manan adalah “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam”.

Ekonomi Islam adalah kumpulan dari dasar-dasar umum ekonomi yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah serta dari tatanan ekonomi yang dibangun atas dasar-dasar tersebut, sesuai dengan berbagai macam bi’ah (lingkungan) dan setiap zaman. Pada definisi tersebut terdapat dua hal pokok yang menjadi landasan hukum sistem ekonomi Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah. Hukum-hukum yang diambil dari kedua landasan pokok tersebut secara konsep dan prinsip adalah tetap (tidak dapat berubah kapan pun dan di mana saja), tetapi pada praktiknya untuk hal-hal dan situasi serta kondisi tertentu bisa saja berlaku luwes atau murunah dan ada pula yang bisa mengalami perubahan.

B.            Sumber-sumber Ekonomi Islam

1.     Al-Qur’an

Sumber pertama dan utama bagi ekonomi Islam, di dalamnya dapat kita temui hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-hukum dan undang-undang diharamkannya riba, dan diperbolehkan jual beli yang tertera pada surat Al-Baqarah ayat 275 “….. padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

2.     As-Sunah An-Nabawiyah

Sumber kedua dalam perundang-undangan Islam. Di dalamnya dapat kita jumpai khazanah aturan perekonomian Islam. Diantaranya seperti sebuah Hadis yang isinya memerintahkan untuk menjaga dan melindungi harta, baik milik pribadi maupun umum serta tidak boleh mengambil bukan miliknya “Sesungguhnya (menumpahkan) darah kalian, (mengambil) harta kalian, (mengganggu) kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari kalian saat ini, di bulan ini, di negeri ini….” (HR Bukhari)

3.     Kitab-kitab Fikih Umum

Kitab-kitab ini menjelaskan ibadah dan muamalah, di dalamnya terdapat pula bahasan tentang ekonomi yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Muamalah Al-Maliyah, isinya merupakan hasil-hasil ijtihad Ulama terutama dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun hadis yang sahih. Adapun bahasan-bahasan yang langsung berkaitan dengan ekonomi islam adalah zakat, sedekah sunah, fidyah, zakat fitrah, jual beli, riba dan jual beli uang dan lain-lain.

4.     Kitab-Kitab Fikih Khusus (Al-Maaulu wal-iqtishaadi)

Kitab-kitab ini yang secara khusus membahas masalah berkaitan dengan uang, harta lainnya dan ekonomi.

C.            Keistimewaan dan Karakteristik Ekonomi Islam

·     Ekonomi Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep Islam yang utuh dan menyeluruh.

·     Aktivitas ekonomi Islam merupakan suatu bentuk ibadah.

·     Tatanan ekonomi Islam memiliki tujuan yang sangat mulia.

·     Ekonomi Islam merupakan sistem yang memiliki pengawasan melekat yang berakar dari keimanan dan tanggung jawab kepada Allah (muraqabatullah).

·     Ekonomi Islam merupakan sistem yang menyelaraskan antara maslahat individu dan maslahat umum.

D.            Dasar-dasar Ekonomi Islam

1.     Mengakui Hak Memiliki (Baik Secara Individu atau Umum)

Sistem ekonomi Islam mengakui hak seseorang untuk memiliki apa saja yang dia inginkan dari barang-barang produksi, misalnya ataupun barang-barang konsumsi. Dan, dalam waktu bersamaan mengakui juga kepemilikan umum. Dalam hal ini ekonomi Islam memadukan antara maslahat individu dan maslahat umum. Tampaknya inilah satu-satunya jalan untuk mencapai keseimbangan dan keadilan di masyarakat.

Berkaitan dengan hal di atas, dari realitas yang kita ketahui, beberapa konsep di luar Islam seperti liberal, sosialis dan komunis telah menemui kegagalan sesudah uji coba berulang kali. Contoh yang paling konkret adalah ambruknya raksasa sosialis komunis Uni Soviet. Ini tidak hanya membuktikan kebangkrutan tatanan ekonomi sosialis dan komunis, tetapi juga sekaligus menunjukan kerapuhan konsep tersebut secara keseluruhan.

Demikianlah dengan perjalanan masa semakin tampak bahwa sesuatu yang baik dan benar akan tetap, sedangkan yang buruk dan batil cepat atau lambat pasti akan menemui kehancuran. Dengan indah Al-Qur’an mengukapkan ini : “Adapun buih itu akan lenyap sebagai sesuatu yang tiada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (Ar-Ra’d ayat 17).

2.     Kebebasan Ekonomi Bersyarat

Islam memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memiliki, memproduksi, dan mengkonsumsi. Setiap individu bebas untuk berjual beli dan menentukan upah/harga dengan berbagai macam nilai nominal, tetapi dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Sebagaimana juga halnya setiap pribadi bebas untuk memindahkan harta yang ada di bawah kepemilikannya kepada orang yang dikehendakinya baik semasa ia hidup dengan cara hibah atau hadiah ataupun setelah meninggal dengan cara wasiat sesuai syariat Islam.

Juga demikian halnya setiap individu memiliki kebebasan dalam mengembangkan hartanya dengan cara yang baik, tetapi harus meninggalkan praktik perdagangan yang diharamkan, baik dengan cara riba maupun dengan cara menimbun dan yang sejenisnya, dan juga sejumlah kebebasan-kebebasan lainnya. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dari kebebasan tersebut adalah sebagai berikut :

·       Pertama: memperhatikan halal dan haram dalam ketentuan hukum-hukum Islam. Di antara contoh-contoh konkretnya adalah seperti kebebasan orang untuk membelanjakan hartanya dan mengkonsumsi apa yang diinginkan, tetapi pada saat yang sama Islam mengharamkan berlaku tabdzir (boros) ataupun israf (berlebih-lebihan). Allah mengingatkan hal tabdzir ini pada surat Al-Isra’ ayat 27 : “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.”

Sedangkan tentang israf di antaranya tertera sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari : “Nabi SAW. Berkata : “Makanlah, minumlah dan berpakainlah serta bersedekahlah, tetapi jangan melampaui batas dan jangan pula sombong dan bermegah-megahan (sombong).”  

Contoh lainnya Islam memberikan manusia kebebasan untuk memanfaatkan potensi alam, tetapi Islam tidak membenarkan pemanfaatan karunia Allah tersebut pada sisi yang tidak sesuai dengan tujuan disediakannya kekayaan alam ciptaan Allah tersebut. Oleh karena itu Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada manusia atas kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan-Nya. Sebagaimana yang diungkapkan Al-Qur’an surat At-Takasur ayat 8 : “Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu (hari akhirat)tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan di dunia ini).”

·       Kedua: komitmen terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan syariat Islam, diantaranya: Komitmen terhadap kewajiban zakat, komitmen terhadap kewajiban memberi nafkah terhadap istri, orang tua yang fakir, anak-anak lelaki hingga mandiri, anak-anak wanita sampai menikah, dan juga keluarga dekat, komitmen dengan tanggung jawab infak fisabilillah, komitmen dengan perintah sedekah kepada fukara dan orang yang memerlukan bantuan dan komitmen pula terhadap macam bentuk proyek kebersamaan dalam masyarkat.

·       Ketiga : tidak menyerahkan pengelolaan harta kepada orang-orang yang bodoh, gila, dan lemah. Allah terangkan dalam surat An-Nissa ayat 5 : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”

Islam melarang orang-orang bodoh, gila dan lemah untuk mengelola hartanya sendiri karena dikhawatirkan orang tersebut tidak baik dalam mengerusinya hingga ia akan mengalami kerugian menimpanya. Dengan kata lain Islam ingin melindungi milik orang tersebut.

·       Keempat : hak untuk bersyariat (saling memiliki) dengan tetangga atau mitra kerja. Hak ini berlaku pula apabila seseorang ingin menjual sesuatu milik bersama, maka penawaran pertama harus diberikan kepada sesama teman (baik itu tetangga ataupun mitra kerja) yang punya saham/andil dalam memiliki sesuatu tersebut dengan harga sesuai kesepakatan.

Islam tidak menghendaki sesama pemilik saham menjual sahamnya jika penjualan tersebut dapat merugikan saham yang lain, ini dijelaskan hadis Rasullah : “Dari Jabir berkata : “Rasullah memutuskan perkara terhadap orang-orang yang memiliki harta bersama, selama belum dipisah harta tadi menjualnya tanpa sepengatahuan pemilik yang lain hingga mendapat izin darinya, kalau dia berminat boleh dia membelinya jika tidak maka dia boleh melepaskannya. Apabila penjualan tanpa seizin sesama pemilik yang lain (tentunya tidak benar) karena pemilik lainnya lebih berhak dalam hal ini.” (HR. Muslim).

·       Kelima : tidak dibenarkan mengelola harta pribadi yang merugikan kepentingan orang banyak. Hal ini harus memenuhi kaidah-kaidah berikut ini :

v  Kaidah Pertama Tidak memberikan mudharat dan tidak pula ditimpa mudharat. Contoh : membangun tembok yang dapat menghalangi cahaya matahari atau udara bagi orang lain (tetangga). Menggali lubang sumur di dekat dinding tetangga, dan lain-lain.

v  Kaidah Kedua Menghilangkan Kemudharatan. Contoh : tidak menutup jalan yang melintas di kebun milik pribadi, apabila tak ada jalan lain, hingga jika ditutup orang tidak dapat lewat.

v  Kaidah Ketiga Menanggung beban kerugian untuk mencegah bahaya yang menimpa masyarakat umum. Contoh : rumah kosong yang hampir rubuh, bila pemiliknya tidak mampu memperbaiki, maka agar tidak membahayakan orang lain bangunan tersebut diruntuhkan.

Demkianlah dalam sistem ekonomi Islam, kebebasan seseorang dalam memiliki dan memperlakukan hartanya dibingkai dengan ketentuan-ketentuan syariat. Bukanlah ini berarti Islam merampas kebebasan individu dalam memiliki harta, tetapi ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam Islam bukan kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan dalam ruang lingkup kaidah-kaidah syariat. Inilah salah satu hal yang membedakan manusia sebagai makhluk mulia dengan binatang yang tak mengenal batas dalam kebebasannya.

 

3.     At-Takaful Al-Ijtima’i (Kebersamaan Dalam Menanggung Suatu Kebaikan)

At-Takaful Al-Ijtima’i dalam kerangka ekonomi Islam adalah kebersamaan yang timbal  balik antarsesama anggota masyarakat dalam pemerintahan dengan masyarakat baik dalam kondisi lapang maupun sempit untuk mewujudkan kesejahteraan atau dalam mengantisipasi suatu bahaya. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam At-Takaful Al-Ijtima’i ini, yaitu :

·     Mewujudkan kebahagiaan, baik untuk pribadi maupun masyarakat dalam batas yang sama secara konsisten dan stabil.

·     Kepentingan pribadi tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat prioritas harus tetap berada pada kepentingan masyarakat.

·     Kebersamaan ini adalah sebuah fenomena yang memperlihatkan kesatuan, keakraban, saling menolong, dan saling melengkapi antara pemimpin dan yang dipimpin.

·     Tidak dibedakan seseorang atas yang lainnya dan tidak pula ada keistimewaan antara yang memberi tanggungan dengan yang diberi tanggungan.

Islam telah menggariskan bentuk muatan konsep At-Takaful Al-Ijtima’i ini, dan kita dapat melihat ajaran At-Takaful Al-Ijtima’i misalnya pada zakat, pemberi pinjaman keperluan rumah tangga kepada orang yang sulit, pemberian Cuma-Cuma, pinjaman (utang) Al-Umro (pinjaman berdasarkan masa umur), Ar-Ruqba (pinjaman hingga batas kematiaan), sedekah sunah, menjamu, zakat fitrah, kurban, aqiqah, denda harta, dll.

E.            Tujuan Ekonomi Islam

1.     Mewujudkan kehidupan ekonomi umat manusia yang makmur dan selalu dalam taraf lebih maju, dengan jalan melaksanakan produksi barang dan jasa dalam kualitas dan kuantitas yang cukup, guna memenuhi kebutuhan jasmani, rohani serta kebutuhan spiritual, dalam rangka menumbuhkan taraf kesejahteraan duniawi dan ukhrowi secara serasi dan seimbang.

2.     Mewujudkan kehidupan ekonomi umat manusia yang adil dan merata, dengan jalan melaksanakan distribusi barang, jasa, kesempatan, kekuasaan dan selalu meningkatkan taraf keadilan dan pemerataannya.

3.     Mewujudkan kehidupan ekonomi yang serasi, bersatu, damai, dan maju, dalam suasana kekeluargaan sesama umat, dengan jalan menghilangkan nafsu untuk menguasai, menumpuk harta, ataupun sikap-sikap lemah terhadap gejala-gejala yang negatif.

4.     Mewujudkan kehidupan ekonomi yang relatif menjamin kemerdekaan, baik dalam memilih jenis barang dan jasa, memilih sistem dan organisasi produksi, maupun memilih sistem distribusi, sehingga tingkat partisipasi masyarakat dapat dikerahkan secara maksimal, dengan meniadakan penguasaan berlebih dari sekelompok masyarakat ekonomi, serta menumbuhkan sikap-sikap kebersamaan (solidaritas).

5.     Mewujudkan kehidupan ekonomi yang tidak menimbulkan kerusakan di bumi, sehingga kelestarian dapat dijaga sebaik-baiknya, baik alam fisik, kultural, sosial maupun spiritual keagamaan.

6.     Mewujudkan kehidupan ekonomi umat manusia yang relatif mandiri tanpa adanya ketergantungan yang berlebihan dari kelompok-kelompok masyarakat lain.

F.            Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Secara garis besar Ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar, yaitu:

1.     Saling meredhoi                      (An-Nisa: 4)

2.     Adil                                         (Al-Hadid: 25)

3.     Saling menguntungkan           (Al-Baqarah: 278-279)

4.     Tolong menolong                   (Al-Maidah: 2)

 

 

G.           Islam dan Masalah Pokok Ekonomi

Lima masalah perekonomian, yaitu :

a.     Jenis Barang dan Jasa yang Dihasilkan

Barang dan jasa yang dihasilkan haruslah berupa barang dan jasa yang tidak dilarang oleh agama, seperti barang konsumsi yang diharamkan (minuman keras, jasa hiburan yang melanggar kesusilaan misalnya). Barang modal yang dihasilkan hendaknya juga barang modal yang tak dapat dipergunakan untuk menghasilkan barang yang haram.

b.     Sistem Organisasi Produksi Barang dan Jasa

Islam pada dasarnya menganut sistem organisasi produksi yang relatif menjamin kebabasan. Karena hak milik pribadi diakui dalam Islam, maka Islam mangakui pula pemilikan terhadap faktor-faktor produksi pada pribadi-pribadi. Bahkan pada dasarnya Islam mengizinkan orang atupun persyarikatan orang (individu atau lembaga usaha) untuk mengorganisasikan faktor-faktor produksi dalam usaha menaikkan nilai barang jasa (berproduksi) guna memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tujuan mencari laba yang wajar adalah halal dalam Islam.

c.     Sistem Distribusi yang Dipakai

Islam mengakui adanya lembaga “perdagangan” sebagai sistem distribusi barang dan jasa dengan menggunakan alat ukur yang berupa uang. Namun perdagangan ini harus dilaksanakan dengan menganut asas keadilan. Misalnya : tidak boleh menipu timbangan, tidak menipu kualitas, tidak boleh menipu harga, jual beli harus dilakukan oleh orang telah akil baliq, tidak dilakukan oleh orang gila dan tidak boleh ada unsur-unsur paksaan.

 

 

d.     Pencapaian Tingkat Efisiensi

Pembagian kerja dan spesialisasi diizinkan dalam Islam. Pembagian kerja dalam berbagai bidang produksi dan distribusi menurut beberapa ulama dinyatakan sebagai fardhu kifayah. Ghzali menyatakan bahwa ilmu yang fardhu kifayah dipelajari ialah ilmu-ilmu yang mesti diperlukan guna menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan hidup duniawi, seperti ketabiban, hisab, pedoman-pedoman dasar kerajinan (industri) dan ilmu kenegaraan. Firman Allah dalam kitab Al-Qur’an surat Zukhruf (43) : 32 menyatakan bahwa “Allah menganugerahkan kelebihan sebagian manusia atas sebagian yang lain, maka hal itulah yang melahirkan adanya keharusan kerjasama kemasyarakatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai bentuk.”

e.     Pencegahan Inflasi dan Depresi

Inflasi adalah gejala naiknya harga-harga umum, baik karena permintaan yang selalu melebihi penawaran atau sebab-sebab lain. Secara teoritis, umpamanya terjadi keadaan terhadap barang modal (inventasi) melebihi kapasitas produksi barang investasi dan barang konsumsi karena semua faktor produksi telah dikerahkan sampai kapasitas penuh (full employment) maka terjadilah inflasi (teoritik). Pola konsumsi (duniawiyah) yang demikan dapat tumbuh karena sifat masyarakat yang pemboros, karena demonstration effect (gejala memamerkan kekayaan), yang tidak seimbang dengan kemampuan produksi pada kapasitas penuh pada saat itu.

H.           Perbedaan Ekonomi Islam dengan Beberapa Ekonomi Konvesional

1.     Ekonomi Islam

Pada perekonomian Islam, sistem yang digunakan adalah sistem yang berlandaskan dari Alquran dan Hadis, baik aktifitasnya maupun barangnya. Dan ciri lainnya adalah larangan terhadap pengambilan riba, tidak adanya penguasaan tertentu oleh individu.  

2.     Ekonomi Kapitalisme

Sistem ini dikenal sebagai sistem perusahaan bebas, di bawah sistem ini seorang individu berhak menggunakan dan mengawal barang-barang ekonomi yang diperolehnya. Sedangkan sifat utama sistem ini adalah menolak nilai-nilai aqidah dan syariat, pengambilan riba, faktor-faktor ekonomi dikuasai oleh individu tertentu secara terus-meenerus, pemodal-pemodal bank yang besar mempunyai kuasa yang berlebih, dan memiliki unsur mengasas monopoli karena menjadi setiap pemodal untuk menguasai segalanya dan menghapuskan semua persaingan dengannya.

3.     Ekonomi Sosialisme

Ciri utama pada prinsip ekonomi sosialisme adalah mengembalikan kuasa ekonomi dari pada golongan Borjuis (Kapitalis) kepada golongan Proliter (Petani dan buruh), menyerahkan semua sumber alam dan sumber ekonomi kepada Negara untuk dialihkan sama rata kepada rakyat, Negara memiliki kuasa sepenuhnya atas pekerjaan yang dihasilkan oleh rakyat.

4.     Ekonomi Komunisme

Ekonomi komunisme merupakan suatu sistem ekonomi sosialis yang radikal dan satu doktrin politik yang diasaskan oleh Karl Marx. Menerusi sistem ini, semua tanah dan modal sama ada yang asli dan buatan manusia, berada ditangan Negara sepenuhnya. Rakyat akan menerima pendapatan menurut keperluan mereka, bukan mengikut kebolehan mereka.  

5.     Ekonomi Campuran

Ekonomi campuran atau disebut juga dengan sistem "klon", sedangkan ciri utama sistem ini adalah hak milik harta boleh berubah dari hak milik individu secara mutlak kepada hak milik Negara sepenuhnya.

Adapun letak perbedaan Ekonomi Islam dan Ekonomi konvensional dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu:

·       Sumber (epistemology) Sebagai sebuah Agama yang diridhai oleh Allah SWT. sumber ekonomi Islam berasaskan kepada sumber yang mutlak yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, kesemuanya itu menjurus kepersoalan ekonomi yang lengkap pada suatu tujuan yakni pembangunan keseimbangan rohani dan jasmani manusia berasaskan Tauhid. Sedangkan ekonomi konvensional tidak bersumber atau berlandaskan wahyu, yang mana lahir dari pemikiran manusia yang akan berubah berdasarkan waktu ataupun masa.

·       Tujuan Hidup Tujuan kehidupan yang dibawa oleh konsep ekonomi Islam adalah membawa kepada konsep al-falah (kemenangan, kejayaan), sedangkan konsep ekonomi konvensional membawa tujuan kehidupan pada konsep kepuasan di dunia saja.

·       Konsep Harta sebagai Wasilah Di dalam Islam harta bukanlah merupakan tujuan hidup tetapi sekedar washilah atau perantara bagi mewujudkan perintah Allah SWT. Sedangkan menurut ekonomi konvensional bahwa harta adalah tujuan hidup yang tidak mempunyai kaitan dengan Tuhan dan akhirat sama sekali.

 

I.              Politik Ekonomi Islam

Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia. Sedangkan Politik Ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah Negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Kemudian pada saat yang sama, Islam memandangnya sebagai orang yang terikat dengan sesamanya dalam interaksi tertentu, yang dilaksanakan dengan mekanisme tertentu, sesuai dengan gaya hidup tertentu pula.

Oleh karena itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan dalam sebuah Negara semata, tanpa memperhatikan terjamin tidaknya tiap orang menikmati kehidupan tersebut. Ketika mensyariatkan hukum-hukum ekonomi pada manusia, Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut kepada pribadi. Dengan itu, hukum-hukum syara’ telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan primer tiap warga Negara Islam secara menyeluruh, sebagai sandang, pangan, dan papan. Caranya adalah mewajibkan bekerja tiap laki-laki yang mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Kalau orang tersebut sah tidak mampu bekerja, maka Islam mewajib kepada anak-anaknya, serta ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya. Atau bila yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada, maka baitul mal-lah yang wajib memenuhinya.

Jelaslah bahwa Islam tidak memisahkan antara manusia dan eksistensinya sebagai manusia, serta antara eksistensinya sebagai manusia dan pribadinya. Islam juga tidak pernah memisahkan antara anggapan tentang jaminan pemenuhan kebutuhan primer yang dituntut oleh masyarakat dengan masalah mungkin tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier mereka. Akan tetapi Islam telah menjadikan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan apa yang dituntut oleh masyarakat sebagai dua hal yang seiring, yang tidak mungkin dipisahkan antara satu dengan yang lain. Justru Islam menjandikan apa yang ditutuntut oleh masyarakat tersebut sebagai asa (dasar pijakan) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada.

Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rezeki dan berusaha. Hukum  mencari rezeki tersebut adalah fardhu. Allah SWT. Berfirman:

“Maka, berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya.”

(QS. Al-Mulk: 15) 

Banyak hadist yang mendorong agar mencari harta. Dalam sebuah hadist: Bahwa Rasulullah SAW telah menyalami tangan Sa’ad bin Mu’adz r.a., dan ketika itu kedua tangan Sa’ad ngapal (bekas-bekas karena dipergunakan kerja). Kemudian hal itu ditanyakan oleh Nabi SAW., lalu Sa’ad menjawab: “Saya selalu mengayunkan skrop dan kapak untuk mencari nafkah keluargaku.” Kemudian Rasulullah SAW. menciumi tangan Sa’ad dengan bersabda: “(Inilah) dua telapak tangan yang disukai oleh Allah swt.” Rasulullah saw juga bersabda: “Tidaklah seseorang makan sesuap saja yang lebih baik, selain ia makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Karim, Adiwarman. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: The International Institut of Islamic Thought Indonesia.

Izzan, Ahmad. Dan Syahri. Tanjung. 2006. Referensi Ekonomi Syariah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Arief, Furqan. H. 2002. Islam Untuk Disiplin Ilmu Ekonomi. Jakarta: Departemen Agama RI.

Saddam, Muhammad. 2003. Ekonomi Islam. Jakarta: Taramedia.

Mannan, Muhammad Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bakhti Prima Yasa.

Nasution, Mustafa Edwin. 2006 Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta

Comments

Popular posts from this blog

Beberapa Ajaran Tauhid Para Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an dan Alkitab

Syari'at, Thariqat, Haqiqat dan Ma’rifat

Kesederhanaan, Keteladanan Yang Diajarkan Baginda Nabi Muhammad SAW