Tauhid sebagai Intisari Ajaran Islam
Penulis : Al Ustadz Jafar Salih
Bagaimanapun prinsip tauhid tidak bisa dipisahkan dari ajaran islam, karena tauhid adalah inti ajaran ini, bahkan islam itu sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta’aala berfirman yang artinya
5. Akan dimenangkan dari
musuh-musuhnya dan dijadikan berkuasa di dunia.
3. Tidak ada
hukum selain hukum Allah Subhanahu Wa
Ta’aala .
4. Tidak ada
tuhan selain Allah Subhanahu Wa
Ta’aala .
Bagaimanapun prinsip tauhid tidak bisa dipisahkan dari ajaran islam, karena tauhid adalah inti ajaran ini, bahkan islam itu sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta’aala berfirman yang artinya
“Katakanlah, “Hai
Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kalian, bahwa kita tidak beribadah kecuali kepada
Allah dan kita tidak persekutukan Dia dengan suatu apa pun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai rabb-rabb selain Allah.
Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang muslim (berserah diri kepada Allah)”. (QS. 3:64)
Ayat ini
menerangkan bahwa orang yang menjadikan tauhid sebagai agamanya adalah orang
yang berhak menyandang gelar sebagai seorang muslim, bukan orang yang
menolaknya. Karena menolak tauhid sama saja menolak Islam sebagai agamanya. Dan
orang yang menerima tauhid sebagai ajarannya akan mendapatkan
keuntungan-keuntungan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’aala janjikan kepadanya.
Di antaranya :
1. Darah dan
hartanya dilindungi oleh Islam.
Nyawanya
terlindungi dan hartanya terjaga kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh
Islam.
“Aku
diperintahkan untuk memerangi sekalian manusia sampai mereka bersaksi bahwa
tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka mengerjakan itu
semua maka terlindung
dariku darah dan harta mereka kecuali dengan hak islam, dan perhitungan mereka di sisi Allah
Subhanahu Wa Ta’aala”.
Maksud dari
sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Kecuali dengan hak Islam”, adalah
seorang muslim tidak boleh dibunuh kecuali apabila ia membunuh muslim yang
lain, atau ia sudah menikah kemudian berzina, atau murtad seperti pindah agama
atau meyakini ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Maka ketika itu pemerintah wajib menegakkan hukum had
terhadap mereka.
2. Selamat dari
kekal di neraka jahannam.
Karena seorang muwahhid (orang yang
bertauhid)bagaimana pun besar dan banyak dosanya kepada Allah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam pasti akan masuk surga, dan hanya orang-orang kafir yang
menolak tauhidlah yang kekal selamanya di neraka. Allah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam berfirman,
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga,
dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong”. (QS. 5:72).
3. Berkesempatan
mendapatkan ampunan atas seluruh dosanya.
Seberapa banyak
dan besarnya dosa seseorang (selagi bukan syirik), ada kesempatan diampuni
Allah Subhanahu Wa Ta’aala bagi siapa yang dikehendaki oleh-Nya. Allah
Subhanahu Wa Ta’aala berfirman;
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. 4:48)
Karena seorang muwahhid apabila
mati dan belum bertaubat dari dosa-dosanya maka dia di bawah kehendak Allah
Subhanahu Wa Ta’aala, apabila Allah Subhanahu Wa Ta’aala berkehendak akan
mengampuni dosa-dosanya, dan apabila Dia berkehendak akan menyiksa sesuai kadar
dosanya, kemudian apabila telah selesai perhitungan atas dirinya maka ia akan
dimasukkan ke dalam surga. Inilah aqidah Ahlus Sunnah.
4. Dan seorang
yang merealisasikan tauhid berhak untuk masuk surga tanpa diadzab dan dihisab.
Dan mereka berjumlah 4.900.000 orang.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ’anhu Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda; “Ditampakkan kepadaku manusia yang banyak
sekali, dan tiba-tiba terdengar, “Ini adalah ummatmu, dan bersama mereka ada
tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab…mereka adalah orang-orang yang tidak minta
diruqyah, dan tidak minta di kay (diobati dengan besi yang dipanaskan) dan
tidak melakukan tathayyur (mengait-ngaitkan yang dilihat atau didengar dengan
nasib) dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabbnya” Muttafaqun
‘Alaihi.
Dan dalam riwayat Ahmad dan Al Baihaqi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam berkata, “Dan aku pun minta kepada
Rabbku agar jumlah mereka ditambah dan Rabbku menambahkan, pada setiap
kelipatan seribu ada tujuh puluh ribu lagi (yang masuk surga tanpa hisab dan
adzab)”. Hadits ini dihasankan oleh Al ‘Allamah Al Muhaddits Muqbil
Al Wadi’i Rahimahullah dalam kitabnya Asy-Syafaat. Sehingga jumlah mereka adalah
4.900.000 orang. Dan ini merupakan keistimewaan yang besar.
“Dan sesungguhnya
kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka
datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu kami
melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan kami selalu
berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”. (QS. 30:47)
“Dan Allah telah
berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka,
sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang
yang fasik”. (Qs. 24:55)
Inilah di antara keistimewaan-keistimewaan yang didapati oleh
orang-orang yang mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Akan tetapi apabila kita melihat pada kehidupan ummat Islam sekarang ini
kita menyaksikan mereka melakukan praktek-praktek ibadah yang
berbeda-beda, ini semua adalah akibat
perbedaan mereka dalam menafsirkan tauhid yang Allah Subhanahu
Wa Ta’aala perintahkan. Padahal yang wajib adalah
mengambalikan tafsirannya kepada Al Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman salafus
shalih. Allah Subhanahu Wa Ta’aala berfirman,
“Maka jika mereka beriman
kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya
mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu
dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. 2:137)
Yang dimaksud dengan
orang-orang yang harus ditiru keimanannya adalah para shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan ayat ini
sekaligus sebagai rekomendasi Allah Subhanahu Wa Ta’aala terhadap mereka bahwa mereka
berada di atas jalan yang lurus.
Lantas apa tafsiran yang benar menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Maknanya adalah tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’aala;
“(Kuasa Allah)
yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah
yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS.
22:62)
Kalimat ini memiliki dua rukun asasi…
Yang pertama
adalah nafi dan kedua adalah itsbat.
1. Yang dimaksud
dengan nafi adalah menolak segala macam peribadatan kepada selain
Allah Subhanahu Wa Ta’aala dari malaikat, nabi, orang-orang
shalih dan benda-benda mati seperti gunung, lautan, batu, keris dan yang lain
sebagainya.
2.Sedangkan itsbat adalah mengakui -ibadah- hanya milik Allah Subhanahu
Wa Ta’aala semata.
Dan seseorang
disebut muslim apabila telah terpenuhinya dua rukun tersebut dalam dirinya.
Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah dalam kitabnya Aqidah At-Tauhid(hal; 50-51)
berkata, “Makna syahadat “Laa Ilaaha Illallaah”
adalah meyakini dan mengikrarkan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Allah, berpegang teguh dengannya serta mengamalkannya. “Laa ilaaha”adalah pengingkaran
terhadap setiap bentuk peribadatan yang ditujukan kepada siapapun selain Allah
Subhanahu Wa Ta’aala Dan “Illallah” adalah
pengakuan bahwa ibadah hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata. Jadi
makna kalimat ini secara global adalah tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Allah Subhanahu Wa Ta’aala “.
Dan dikalangan ummat islam banyak beredar beberapa tafsiran yang salah tentang kalimat
tauhid “Laa Iaha Illallah”,
di antaranya;
1. Tidak ada yang diibadahi kecuali
Allah Subhanahu Wa Ta’aala .
Tafsiran ini sekilas serupa dengan di atas, tapi apabila diperhatikan
dan diteliti maknanya akan terlihat kebatilan yang tersembunyi pada perkataan
ini. Tidak ada yang diibadahi selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala mengisyaratkan bahwa setiap yang diibadahi
oleh jin dan manusia, hak atau pun batil
peribadatan tersebut ia adalah Allah Subhanahu Wa Ta’aala .
2. Tidak ada yang
menciptakan selain Allah Subhanahu Wa
Ta’aala .
Tafsiran ini banyak beredar dikalangan kaum sufi dan lebih celaka lagi
tafsir ini selain bertentangan dengan tafsiran yang benar, orang-orang kafir
Quraisy yang menolak mengucapkannya ternyata lebih paham makna Laa Ilaha Illallah dari mereka.
Karena mereka menolak mengucapkannya justru disebabkan mereka paham bahwa
kalimat Laa Ilaha Illallah berarti tidak
beribadah kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala, tidak melakukan tawassul dengan malaikat dan
orang-orang shalih. Adapun masalah penciptaan tidak pernah sekali pun terbersit
pada diri-diri mereka bahwa Dzat Yang Maha Pencipta adalah selain Allah
Subhanahu Wa Ta’aala, hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’aala kabarkan dalam Al
Qur’an;
“Dan sesungguhnya
jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan
menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab:”Allah”, maka
bagaimana mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. 29:61)
Ayat ini jelas
mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang kafir Quraisy paham dan mengerti
bahwa tidak ada yang menciptakan, memiliki dan mengatur alam raya ini dan
segala isinya kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata, lantas apa faidahnya
kalau mereka telah memahami hal ini dan meyakininya kemudian dituntut untuk
mengucapkan kalimat Laa Ilaha Illallah sedangkan
mereka tidak mengingkarinya?! Ini menandakan bahwa makna Laa Ilaha Illallah tidak seperti
yang mereka kira. Wallahua’lam.
Tafsiran ketiga ini banyak beredar di kalangan anak-anak muda yang
memiliki semangat dalam Islam tapi dangkal dalam ilmu (agama). Penyempitan
makna terhadap kalimat Laa Ilaha Illallah yang
terdapat pada tafsir ini jelas. Karena ibadah memiliki pengertian yang luas
seperti yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mencakup segala
sesuatu yang dicintai dan diridha’i oleh Allah Subhanahu Wa Ta’aala dari
perkataan, perbuatan yang lahir dan tersembunyi. Dan perkara tidak berhukum
dengan selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’aala adalah salah satu dari
macam-macam ibadah yang tercakup dalam pengertian yang luas di atas. Dari sini
kita mengetahui bahwa tafsiran ketiga ini adalah tafsiran yang sempit dan tidak mewakili makna
yang benar.
Paling tidak tafsiran ini tidak jelas maknanya.
Apakah makna tuhan adalah Rabb sehingga makna laa
ilaha illallah adalah tidak ada yang menciptakan, memiliki dan
mengatur alam raya ini dan segala isinya kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala.
Sehingga tafsiran ini sama dengan tafsiran kedua. Atau makna dari kata tuhan
adalah Ilah yaitu Dzat Yang diibadahi.
Dan yang wajib dalam hal ini adalah memberikan arti yang benar kepada
ummat Islam sehingga cukup dengan mendengarnya mereka sudah paham bahwa makna Laa Ilaha Illallah adalah larangan dari beribadah kepada siapapun selain
Allah Subhanahu Wa Ta’aala dan wajibnya
memurnikannya hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata.
Sebagaimana tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan,
kepemilikan dan kekuasaan maka
tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan kepada-Nya. Wallahua’lam.